Article – Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) https://sejiwa.org Perlindungan Anak, Tanpa Batas. Mon, 14 Apr 2025 06:45:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://sejiwa.org/wp-content/uploads/2023/11/cropped-LOGO-SEJIWA-COBA-01.png-32x32.webp Article – Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) https://sejiwa.org 32 32 TikTok Bersama SEJIWA Serukan Edukasi Keamanan Digital di Sekolah, dan Mengajak Orang Tua Terlibat Aktif. Seru Berkreasi dan #SalingJaga 2025 https://sejiwa.org/tiktok-bersama-sejiwa-serukan-edukasi-keamanan-digital-di-sekolah-dan-mengajak-orang-tua-terlibat-aktif-seru-berkreasi-dan-salingjaga-2025/ Mon, 10 Mar 2025 04:25:31 +0000 https://sejiwa.org/?p=6220 Memasuki tahun 2025, TikTok semakin memperkuat komitmennya untuk menciptakan ruang digital yang aman bagi remaja. Melalui program Seru Berkreasi dan #SalingJaga, TikTok kembali melanjutkan upayanya dalam mengedukasi remaja dan orang tua mengenai keamanan digital.

2450216

Pada tahun kedua pelaksanaannya, TikTok bekerja sama dengan SEJIWA Foundation untuk menyelenggarakan roadshow edukasi hingga 10 sekolah menengah atas di Jabodetabek. Untuk memperluas dampak, mereka juga menggandeng Keluarga Kita, organisasi yang fokus pada pendidikan keluarga di Indonesia, guna mengajak orang tua aktif dalam mendampingi remaja di dunia digital.

“Remaja harus merasa aman berekspresi di dunia digital, dan orang tua perlu aktif mendampingi perjalanan digital anak remaja mereka,” ungkap Anggini, di Jakarta, Kamis (13/2/2025). 

Menurut laporan UNICEF pada 2024, disampaikan bahwa 74% dari 30 juta anak pengguna internet di Indonesia menggunakan gawai tanpa pengawasan orang tua. Oleh karena itu, program Seru Berkreasi dan #SalingJaga bertujuan untuk membuka komunikasi antara orang tua dan remaja, memberikan pemahaman yang lebih baik tentang dunia digital.

“Keberlanjutan program ini sangat penting, baik bagi orang tua maupun remaja,” tambah Anggini Setiawan. 

TikTok berkomitmen untuk memberdayakan orang tua dan remaja dengan pengetahuan dan alat untuk menavigasi dunia digital dengan aman, setelah sebelumnya telah berinteraksi dengan lebih dari 600 orang tua dan remaja dalam roadshow tahun lalu.

Bersama SEJIWA Foundation, TikTok kembali mengadakan sesi diskusi interaktif di sekolah-sekolah dengan melibatkan kreator TikTok yang berbagi cara untuk berekspresi dengan aman. Diena Haryana, Founder SEJIWA Foundation, mengungkapkan kebanggaannya bermitra dengan TikTok untuk mendukung remaja agar dapat berinteraksi secara positif di dunia digital.

Selain itu, TikTok juga menggandeng Keluarga Kita untuk menyusun panduan praktis yang membantu orang tua memahami tantangan dunia digital. 

Program ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi remaja dan memperkuat peran orang tua dalam mendampingi perjalanan digital anak-anak. Dengan fitur-fitur seperti Pelibatan Keluarga dan Pusat Keamanan Remaja, TikTok memberikan perlindungan lebih bagi pengguna remaja, menjadikan dunia digital lebih aman dan terkontrol.

]]>
Workshop Penguatan Kapasitas Layanan Hotline Kesehatan Mental https://sejiwa.org/workshop-penguatan-kapasitas-layanan-hotline-kesehatan-mental/ Fri, 17 Jan 2025 01:48:24 +0000 https://sejiwa.org/?p=6124 Pada tanggal 10 Januari 2025, di Aula Gedung KPPPA, Lantai 3

  • Satu dari Tiga Anak Remaja Punya Masalah Kesehatan Mental
  • 800 Siswa di Jawa Timur Mengaku Pernah Menyakiti Diri Sendiri dengan Benda Tajam
  • Indonesia Perlu Menata Layanan Hotline yang Ramah Anak
  • Anak Usia SD-SMA Masih Acap Hadapi Kekerasan Seksual dan Psikologis
  • Kegiatan Daring Berlebih Berdampak Pada Kesehatan Mental Anak

Peranan layanan Hotline khususnya untuk kesehatan mental, luar biasa dibutuhkan dalam kondisi saat ini, dimana kita berada di dunia yang semakin kompleks dan semakin banyak tantangannya. Menurut Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional (SNP) 2023, 1 dari 3 anak pada usia 10-17 tahun di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, yakni sekitar 15.000 anak dalam 12 bulan terakhir. Mereka menghadapi kecemasan, depresi, fobia sosial, kesepian, trauma, dan gejala psikologis lainnya yangmemerlukan dukungan konseling segera. Masalah-masalah ini menimbulkan kesulitan bagi kaum muda dalam menghadapi rutinitas sehari-hari.

Ditambah lagi, pada tahun 2023, Simfoni PPA mengindikasikan bahwa Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling banyak dilaporkan dibandingkan dengan kekerasan lainnya dan terjadi pada anak usia 13-17 tahun. Kekerasan psikologis merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi pada anak usia 6-12 tahun. Padahal, dampak-dampak buruk kekerasan seksual terhadap kesehatan mental remaja menurut penelitian National Health Service di Inggris sangatlah signifikan, seperti: depresi, kecemasan, trauma, rasa bersalah dan kecanduan, merasa tidak berharga, menyakiti diri sendiri, serta masalah fisik seperti migrain, sakit perut, kurang tidur, hilangnya nafsu makan, dll. Kekerasan seksual ini dampaknya berjangka panjang, sehingga layak untuk para korban menerima dukungan psikologis secepatnya setelah mereka mengalami kekerasan.

Data tentang gen Alpha datang dari Jawa Timur, dimana pada November 2023 telah ditemukan ratusan kasus remaja SD-SMA yang menyakiti diri sendiri atau self harm. Dinas Kesehatan bersama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga setempat telah mencatat ada sebanyak 800 siswa, 701 pada siswa SMP dan selebihnya ditemukan pada siswa SMA dan SD. Temuan ini diawali dari 76 siswa SMP di Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan yang didapati melukai lengannya sendiri menggunakan pecahan kaca, penggaris, hingga jarum. Lalu, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga setempat meminta Dinas Kesehatan melakukan skrining terhadap seluruh sekolah di Kabupaten Magetan.

Saat ini anak-anak kita hidup di dunia nyata dan di ruang digital. Di dunia nyata, banyak anak mengalami tekanan hidup yang semakin berat, seperti hidup dalam kemiskinan, kekerasan rumah tangga, lingkungan hidup yang tak sehat, tekanan sosial, kekerasan seksual, dll. Di lingkungan digitalpun banyak anak mengalami tekanan hidup yang semakin berat, seperti perundungan siber, judi online, hoax and informasi menyesatkan, penipuan, grooming, TPPO, adiksi gawai dan internet, lingkungan hidup yang tidak sehat, kekerasan seksual secara eletronik, dll. Ketua KPAI, Ibu Ai Maryati Sholihah, menyampaikan situasi di seputar anak yang perlu menjadi catatan penting bagi kita semua, bahwa: “Kondisi anak-anak Indonesia menghadapi kekerasan dan eksploitasi berbasis online yang eskalatif baik secara jumlah maupun jenisnya. Bahkan disrupsi global berdampak pada menjamurnya konten negatif internet yang berpengaruh buruk pada tumbuh kembang anak. Di sisi lain kita masih menghadapi tantangan tata Kelola penggunaan gawai anak oleh orang tua. Hasil survei KPAI di tahun
2021 memperlihatkan bahwa kebanyakan anak diizinkan menggunakan gadget selain untuk belajar 79% dan anak memiliki gadget sendiri 71,3%, sayangnya mayoritas anak tidak memiliki aturan (79%) penggunaan gadget dengan orang tua, bahkan peran ayah sangat sedikit dalam pengawasan gadget anak, padahal sejatinya kedua orang tua perlu hadir dalam pengasuhan berbasis digital”. Sangat disayangkan, peranan orangtua dalam pengasuhan di ruang digital belum selaras dengan tantangan di ruang digital yang semakin kompleks yang dihadapi anak.

Tak dapat disangkal, peranan dunia digital walaupun begitu banyak manfaatnya dalam kehidupan kita, ternyata berkontribusi pada memburuknya kondisi kesehatan mental bagi para penggunanya yang belum terliterasi dengan baik. Kebiasaan-kebiasaan hidup kita yang seharusnya dekat dengan alam, dan penggunaan psikomotorik yang aktif, bisa kalah oleh kebiasaan di ruang digital yang berlebihan, khususnya pada anak-anak kita. Ditambah lagi, belum banyak orangtua yang terliterasi dengan baik dalam menjalankan pola pengasuhan di era digital dengan bijak, sehingga anak mengalami pembiaran untuk berada di ruang digital tanpa pengarahan, perlindungan dan pendampingan. Hal ini berdampak pada kondisi dimana anak-anak kita mengalami kasus-kasus yang merugikan mereka, sehingga kesehatan mental mereka terganggu, dimana mereka mengalami gejala-gejala depresi, sulit tidur, sulit berkonsentrasi, hilangnya selera makan, kecemasan, kesepian, perilaku adiksi, dll. Bagi anak-anak yang hidup dalam keluarga yang cukup mampu, maka mereka masih bisa memiliki pilihan untuk mendapatkan dukungan psikologis yang diperlukan agar dapat kembali hidup sehat. Namun, bagi anak-anak dari keluarga yang kondisi ekonominya kurang mampu, maka layanan hotline yang gratis, mudah diakses dan professional akan menjadi opsi yang terbaik agar anak bisa mengakses dukungan psikologis yang dibutuhkan.

Dengan meningkatnya kebutuhan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan hotline yang dibutuhkan, maka perlu dipikirkan upaya-upaya memperkenalkan layanan hotline ini agar semakin dikenal oleh masyarakat serta menetapkan prosedur kerja yang child friendly dan menempatkan pelaksana harian yang mampu memberikan layanan dengan sepenuh hati”. Masalahnya adalah: sudahkah para penyelenggara hotline mampu memberikan layanan seperti ini? Sejauh manakah layanan hotline ini mampu melayani masyarakat, khususnya anak-anak? Seperti apakah kondisi ideal layanan hotline yang child-friendly dan mudah diakses anak? Workshop sehari terkait layanan hotline kesehatan mental yang dilaksanakan oleh SEJIWA dan didukung KemenPPPA, KPAI, UNICEF serta Aliansi Down to Zero membahas seperti apa kesenjangan yang dihadapi oleh layanan Hotline Kesehatan Mental saat ini secara umum, dibandingkan gambaran ideal sebuah layanan Hotline yang seharusnya kita miliki, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah untuk perbaikannya ke depan. Seperti harapan yang diungkapkan oleh Diena Haryana dari SEJIWA, Lembaga yang mengkoordinir kegiatan ini: “Dengan kondisi masalah kesehatan mental anak yang rentan dan sangat membutuhkan perhatian kita, maka kita harus berupaya keras agar Layanan Hotline Kesehatan Mental semakin mampu berperan membangun masyarakat yang sehat mental dan sejahtera, khususnya anak-anak yang sedang bertumbuh kembang agar mereka dapat menjalankan rutinitas sehari-hari mereka dengan baik”.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Bapak Nahar, SH, M.Si, yang memberikan keynote speech dalam workshop ini menyampaikan informasi tentang layanan KemenPPPA bagi masyarakat serta apa yang akan dikembangkan kedepannya “KemenPPPA telah memiliki layanan hotline pengaduan SAPA 129 yang mempermudah masyarakat dalam mengakses bantuan terhadap kasus-kasus kekerasan secara cepat dan kapan saja, serta akan dikembangkan aplikasi pemantau ribuan percakapan di media sosial yang real time, sekaligus mendeteksi pola dan tren kekerasan atau pelecehan yang sedang berkembang sekaligus sebagai instrumen identifikasi pengaduan masyarakat melalui media sosial.” Tentunya hal ini akan sangat membantu langkah-langkah pengembangan layanan Hotline Kesehatan Mental yang akan semakin relevan dan berdampak baik bagi tumbuh kembang anak-anak Indonesia.

Sedangkan Kepala Divisi Psikiatri RSCM Dr Kristiana Siste, SPKJ, Ph.D, yang merupakan ahli adiksi perilaku, mengingatkan kita semua: “Anak-anak agar diarahkan dengan bijak menggunakan internet, karena generasi emas memiliki peluang tanpa batas”. Peringatan ini perlu kita laksanakan, karena kita menginginkan anak-anak kita optimal dalam tumbuh kembangnya, dan mampu membuka segala kesempatan demi mencapai masa depan mereka yang layak dan sejahtera.

Mengingat pentingnya layanan hotline Kesehatan Mental bagi anak-anak untuk mendukung tumbuh kembangnya agar optimal, maka Ibu Lukita Setiyarso dari Child Rights & Business Specialist, UNICEF, menyampaikan “Semua pihak memiliki peran untuk memastikan bahwa setiap anak di Indonesia terlindungi dari segala bentuk bahaya, termasuk bisnis/ pelaku usaha. Ini termasuk memperluas akses ke layanan perlindungan anak esensial dan meningkatkan cara layanan tersebut beroperasi sehingga lebih banyak anak dapat memperoleh bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan.” Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah, maka langkah kedepan seperti apa terkait layanan Hotline SAPA 129, disampaikan oleh Plt Asdep Layanan AMPK, Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA: “Kami di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berkomitmen untuk terus meningkatkan layanan hotline ini. Dalam waktu dekat, kami berencana untuk memperluas jangkauan layanan, meningkatkan pelatihan bagi konselor, serta memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak untuk memberikan pelayanan yang lebih baik”. Kita sungguh berharap agar upaya ini semakin dapat menjadi barometer layanan hotline bagi penyelenggara layanan hotline yang lain,
sehingga layanan hotline secara nasional akan semakin mampu berdampak bagi kesehatan mental
anak-anak Gen Z dan Gen Alpha.

TENTANG WORKSHOP PENGUATAN KAPASITAS LAYANAN HOTLINE KESEHATAN MENTAL

Adalah workshop sehari terkait penguatan kapasitas layanan hotline kesehatan mental yang dilaksanakan oleh SEJIWA yang didukung oleh KemenPPPA, KPAI, UNICEF, serta Aliansi Down to Zero untuk membahas kondisi kesehatan mental remaja pada saat ini serta kesenjangan yang dihadapi oleh layanan Hotline Kesehatan Mental. Workshop ini memberikan gambaran ideal layanan hotline yang harusnya kita miliki, serta langkah-langkah perbaikan seperti apa yang harus dilaksanakan secepatnya.

Disiapkan oleh:
Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA)
Jln Masjid Al Ridwan 45A, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Sejiwa.foundation@gmail.com
www.sejiwa.org
Contact person: Anis Rosita (0813 1680 7487)

]]>
Dukung Perjalanan Digital Kreatif Remaja yang Aman, TikTok bersama SEJIWA Foundation Hadirkan Program School Roadshow: Seru Berkreasi dan #SalingJaga di TikTok https://sejiwa.org/dukung-perjalanan-digital-kreatif-remaja-yang-aman-tiktok-bersama-sejiwa-foundation-hadirkan-program-school-roadshow-seru-berkreasi-dan-salingjaga-di-tiktok/ Fri, 01 Nov 2024 01:09:18 +0000 https://sejiwa.org/?p=6102
TRJ 4256
TRJ 4024

Jakarta, 17 Oktober 2024 – TikTok bersama organisasi nirlaba SEJIWA Foundation memperkenalkan program school roadshow bertajuk Seru Berkreasi dan #SalingJaga di TikTok. Program ini merupakan inisiatif yang bertujuan untuk mendukung kreativitas remaja sekaligus memastikan keamanan mereka di dunia digital melalui roadshow edukasi di enam sekolah menengah atas di wilayah Jabodetabek untuk para siswa remaja dan orang tua serta wali, selama bulan Oktober dan November 2024. 

Program ini dilatarbelakangi oleh kondisi saat ini, di mana kelompok remaja merupakan pengguna internet terbesar kedua di Indonesia dan mayoritas menggunakannya untuk media sosial. Dengan semakin aktif di dunia digital, remaja juga rentan terhadap kejahatan dan risiko keamanan digital lainnya*. Di sisi lain, berdasarkan hasil riset dari SEJIWA Foundation dan Western Sydney University terhadap remaja usia 13-18 tahun di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, para remaja ingin mendapatkan bimbingan agar mereka bisa merasa aman di ruang digital. 

“Menciptakan lingkungan digital yang aman bagi remaja untuk berkreasi membutuhkan upaya kolektif, baik dari orang tua atau wali, sekolah, dan platform. Di TikTok, kami berkomitmen untuk menyediakan wadah yang aman dan nyaman bagi pengguna untuk berkreasi, termasuk untuk remaja. Dan hal tersebut kami tuangkan dalam bentuk kebijakan, ragam fitur dan alat keamanan bagi orang tua dan remaja, serta program edukasi yang menggandeng mitra eksternal. Program “Seru Berkreasi dan #SalingJaga di TikTok” merupakan salah satu perwujudan komitmen kami untuk meningkatkan pemahaman tentang keamanan digital, serta memberdayakan para remaja serta orang tua dan wali untuk bersama-sama menciptakan perjalanan digital yang aman dan nyaman bagi remaja,” ungkap Anggini Setiawan, Communications Director, TikTok Indonesia. 

T50 8053

SEJIWA Foundation sebagai mitra TikTok dalam program ini mengungkapkan hal senada. “Usia remaja memerlukan pendampingan dalam menghadapi tantangan di platform digital, dan mengedukasi para orang tua dan wali tentang peran penting mereka dalam mendampingi perjalanan digital anak remaja menjadi langkah yang semakin signifikan. Oleh karena itulah, upaya proaktif seperti program roadshow sekolah yang pertama kali TikTok dan SEJIWA Foundation lakukan ini diharapkan bisa menjadi pionir untuk terus mendorong keterlibatan orang tua untuk membantu para remaja berkreasi dengan bijak dan merasa aman,” ujar Diena Haryana, Founder SEJIWA Foundation, yang telah menjadi mitra TikTok dalam berbagai kampanye keamanan dan kesejahteraan pengguna di TikTok sejak tahun 2021.

Program school roadshow “Seru Berkreasi dan #SalingJaga di TikTok” akan mengunjungi enam sekolah yang beragam di wilayah Jabodetabek, antara lain SMAN 53 Jakarta, SMAN 73 Jakarta, SMA Regina Pacis, SMA Labschool Cibubur, SMA Rimba Madya Bogor, dan SMKN 3 Bogor. Di setiap sekolah, TikTok dan SEJIWA Foundation akan mengadakan sesi paralel untuk remaja dan orang tua. Untuk para siswa remaja, TikTok akan mengajak para kreator yang memiliki dampak positif dan bisa menjadi inspirasi generasi muda, seperti Lianna Nathania, Ghina Eroz, Rival Amir, dan Tiranissya, yang akan berbagi cerita tentang perjalanan kreatif mereka di TikTok, sekaligus mengajak para siswa untuk lebih sadar terhadap pentingnya keamanan digital dan kesejahteraan digital, termasuk bagaimana mengelola interaksi online dan melindungi privasi akun mereka di TikTok. 

Untuk para orang tua dan wali sebagai pendamping utama para remaja, TikTok bersama SEJIWA Foundation akan memberikan panduan tentang pentingnya peran orang tua dalam mendampingi perjalanan digital kreatif anak remajanya, cara memanfaatkan fitur Pelibatan Keluarga, serta mendengarkan tips dari kreator parenting Halimah dan kreator yang juga seorang musisi dan penulis Reda Gaudiamo,  di mana keduanya juga akan membagikan pengalamannya sebagai seorang ibu. Harapannya, sesi ini bisa membantu dan memberdayakan para orang tua dan wali untuk bisa mendukung dan memastikan pengalaman digital yang aman dan sesuai usia bagi anak remajanya. 

Pentingnya peran orang tua dalam perjalanan digital anak remajanya ditegaskan oleh Halimah, kreator di TikTok yang kerap membagikan tips parenting. “Usia remaja adalah masa yang penuh eksplorasi. Mereka sudah bisa berpikir kritis, tapi belum tentu paham konsekuensinya, dan tidak mau dikekang. Untuk itu, orang tua perlu menerapkan kebebasan dalam batasan, sehingga anak remaja kita mau terbuka dan berkomunikasi dengan sehat,” ujarnya. Lianna Nathania, seorang kreator muda di TikTok, turut membenarkan hal ini. “Generasi muda, khususnya di usia remaja, masih butuh bimbingan dan pendampingan, sehingga nantinya mereka bisa melindungi dirinya di dunia digital,” ungkapnya.

Program school roadshow Seru Berkreasi dan #SalingJaga di TikTok merupakan bagian dari kampanye #SalingJaga yang diluncurkan sejak September 2023. Kampanye ini merupakan upaya TikTok untuk mengingatkan semua orang untuk saling menjaga satu sama lain, baik dari konten negatif, misinformasi dan disinformasi, atapun konten-konten yang membuat orang lain tidak nyaman. 

Untuk informasi lainnya terkait keamanan digital remaja, dapat dilihat di laman Panduan Bagi Orang Tua dan Wali dan Pusat Keamanan Remaja.

]]>
DtZ Year 2 (Down to Zero) South Jakarta & Bogor https://sejiwa.org/dtz-year-2-down-to-zero-south-jakarta-bogor/ Mon, 23 Sep 2024 01:50:52 +0000 https://sejiwa.org/?p=6062 Halo Sahabat SEJIWA 🙌

Masih seputar Follow Up Champion year 1, kegiatan kali ini dihadiri para Champion SEJIWA Jakarta Selatan dan Bogor. Kegiatan tindak lanjut ini bertujuan menggali temuan dari Program Down to Zero pada tahun pertama (2023) untuk pengembangan program pada tahun kedua. Kegiatan dibuka oleh Andika Zakiy Nugroho Kadir (Manajer Program SEJIWA) dengan menjelaskan mengenai tujuan, alur besar kegiatan pada hari ini dan pengenalan staf baru SEJIWA, setelahnya diikuti oleh materi singkat untuk merangsang gagasan-gagasan kreatif dari partisipan oleh Diena Haryana (Pendiri SEJIWA). 

Champions SEJIWA aktif bertukar pikiran dan mendiskusikan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah masing-masing. Selain itu Champions yang hadir merefleksikan tantangan, keberhasilan, dan respons masyarakat, hingga SEJIWA dapat menyempurnakan strateginya dan menyesuaikan intervensi untuk memenuhi kebutuhan peserta dan masyarakat.

Yuk ikuti terus kegiatan kami selanjutnya ✨

Yayasan SEJIWA

“Service for Peace”

]]>
Darurat Judi Online https://sejiwa.org/darurat-judi-online/ Tue, 09 Jul 2024 01:46:00 +0000 https://sejiwa.org/?p=5984 Darurat Judi Online

Halo Sahabat SEJIWA ✨

Indonesia sudah masuk darurat judi online. Data dari Kemenkopolhukam menyatakan bahwa sedikitnya ada 80 ribu anak-anak di bawah 10 tahun, dan ada 440 ribu anak di atas 10 tahun yang terlibat judi online.

Mengapa banyak anak terlibat judi online, dan apakah anak yang adiksi terhadap judi online bisa diperbaiki?

Bincang-bincang hayat.mansur dengan Diena Haryana, pendiri @yayasansejiwa dapat didengar hari Jumat, 5 Juli 2024 jam 16.30 – 17.00 WIB di Radio Perspektif Baru, KBR dan jaringannya (streaming: 

Berita Terkini, Independen, Terpercaya | KBR ID ), serta dapat didengarkan juga di podcast  https://kbrprime.id/ atau kunjungi channel YouTube Perspektif Wimar TV.

#perspektifwimar #perspektifbaru #judionline #stopjudionline #daruratjudionline

]]>
Kenali, Sadari dan Perangi Bahaya di Dunia Maya Terhadap Anak-Anak https://sejiwa.org/kenali-sadari-dan-perangi-bahaya-di-dunia-maya-terhadap-anak-anak/ Wed, 13 Mar 2024 04:01:12 +0000 http://sejiwa.org/?p=1207  

Kenali, Sadari dan Perangi Bahaya di Dunia Maya Terhadap Anak-Anak

Kemajuan teknologi memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan. Berbagai bentuk kemudahan ditawarkan, seperti dalam hal berkomunikasi dan mencari informasi. Tentunya dalam beberapa sisi kemudahan tersebut merupakan hal yang positif, tetapi disadari atau tidak di sisi lain teknologi dapat membawa dampak negatif.

Dampak negatif dalam berselancar di dunia maya merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, terutama bagi anak-anak. Beberapa fakta membuktikan bahwa kejahatan melalui dunia maya membawa korban mencakup anak-anak dengan jumlah sebesar 80 juta dan meningkat dari tahun ke tahun (http://tekno.liputan6.com/). Anak-anak menjadi korban karena mereka cenderung masih awam dan anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Anak-anak lebih suka melakukan hal-hal baru yang sedang menjadi tren. Situasi seperti ini disalahgunakan oleh oknum-oknum untuk melakukan kejahatan melalui dunia maya. Di samping itu bagi pelaku, kejahatan di dunia maya memiliki resiko lebih rendah ketimbang kejahatan di dunia nyata. Maka tak jarang banyak oknum yang memanfaatkan internet untuk melakukan kejahatan (http://www.anneahira.com/). Termasuk melakukan kejahatan melalui internet kepada anak-anak. Tindak kejahatan dalam dunia maya dibagi menjadi lima kelompok besar, Cyber Bullying, Cyber Crime, Cyber Pornography, Children Online Trafficking dan Pedophilia.

Cyber Bullying

Cyber Bullying adalah istilah yang digunakan pada saat seorang anak atau remaja mendapat perlakuan tidak menyenangkan  seperti dihina, diancam, dipermalukan, disiksa atau menjadi target bulan-bulanan oleh anak atau remaja lain menggunakan teknologi internet, teknologi digital interaktif maupun teknologi mobile (www.stopcyberbullying.org). Perilaku Cyber Bullying paling banyak dilakukan di Facebook, Twitter dan Ask.fm. Sebanyak 25 persen remaja telah melaporkan pernah mengalami Cyber Bullying berulang lewat telfon genggam atau internet (nobullying.com). Dampak negatif dari Cyber Bullying dapat terjadi baik dilakukan sekali maupun berulang.

Dampak dari Cyber Bullying beragam, korban Cyber Bullying sering kali mengalami depresi, merasa terisolasi, diperlakukan tidak manusiawi, tak berdaya ketika diserang, sampai pada tindakan yang lebih ekstrim yaitu bunuh diri (http://www.mediaindonesia.com). Beberapa sumber mengatakan Cyber Bullying berakibat lebih parah dibandingkan dengan tindak bullying secara langsung. Sebab Cyber Bullying dapat terjadi di mana dan kapan saja, serta pelaku bullying dapat tidak mencantumkan namanya atau yang disebut sebagai anonim.

Cyber Crime

Cyber Crime adalah salah satu bentuk baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas, baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional.  Cyber Crime merupakan salah satu perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi komputer, salah satunya lewat internet yang diantaranya:

1)      Penyerangan terhadap hardware dan software (contohnya: spamming[1], malware[2]),

2)      Kejahatan finansial lewat online (contohnya: phising[3], Cyber  Pornography),

3)      Kejahatan terhadap anak-anak melalui online dengan cara memproduksi, menyebarkan foto-foto vulgar anak yang sengaja dibuat untuk kepentingan predator anak. Pelaku kejahatan anak melalui online biasanya menggunakan media sosial, seperti Facebook, Ask.fm, Twitter, Instagram, Line, Whatsapp.

Pada prinsipnya, Cyber Crime dilakukan berbasis teknologi dan bersifat transnasional (melewati batas negara), sehingga dampaknya tidak hanya dapat merugikan individu, tetapi juga dapat merugikan kelompok yang lebih besar lagi. Dampak individu dapat langsung dirasakan oleh anak-anak, karena anak-anak merupakan individu yang belum berkembang sempurna, memiliki rasa ingintahu yang tinggi, sehingga sering menjadi korban dalam Cyber Crime.

Sebagai antisipasi, perlu adanya pengawasan dari orangtua serta pengarahan kepada anak agar tidak mudah melakukan perkenalan dengan ‘orang asing’ atau tidak dikenal serta tidak mudah memberikan identitas melalui komunikasi dunia mayanya. Sedangkan dalam kelompok besar, upaya penanggulangannya  sudah mulai dirintis oleh berbagai pihak, misalnya PBB, Dewan Eropa, ataupun hukum NKRI. Di Indonesia, tindakan mengantisipasi kejahatan melalui dunia maya sudah dilakukan oleh beberapa lembaga pemerintah dan non pemerintah.

 

Cyber Pornography

Cyber Pornography merupakan penyebaran bahan-bahan atau materi-materi pornografi melalui internet, baik itu tulisan, gambar, foto, suara maupun film/video. Materi-materi pornografi di internet dapat dijumpai pada situs-situs porno, situs-situs media informasi seperti situs majalah dan koran. Ditemukan oknum Cyber Pornography menggunakan anak sebagai target untuk melakukan bisnisnya.

Di dunia maya saat ini tersedia ratusan bahkan ribuan situs pornografi yang dapat dijumpai dan dibuka setiap saat. Sebanyak 40% industri di internet adalah industri pornografi (http://www.gloria-brame.com/glory/journ7.htm). American Demographics Magazine dalam laporannya menyatakan bahwa jumlah situs pornografi meningkat dari 22.100 pada tahun 1997 menjadi 280.300 pada tahun 2000 atau melonjak 10 kali lebih dalam kurun waktu tiga tahun (http://www.ictwatch.com). Selain melalui situs, berbagai mailing list juga menjadi sarang pornografi dengan penggemar atau jumlah anggota yang cukup banyak.

Meningkatnya jumlah situs pornografi sejalan dengan semakin banyaknya permintaan. Ironisnya, pengguna situs pornografi banyak ditemukan pada anak-anak. Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi, tercatat sejumlah 50% kaum muda lebih suka menggunakan internet untuk mencari dan membuka situs porno (www.sinarharapan.co.id).  Sementara Elly Risman, Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati menyatakan hasil penelitian selama tahun 2005 terhadap 1.705 anak kelas 4-6 SD di 134 SD di Jabodetabek, diketahui sebanyak 20 % mengenal pornografi dari situs internet (http://ruuappri.blogsome.com). Sedangkan menurut Unicef (2014), lebih dari separuh anak-anak dan remaja di Indonesia (52%) mengatakan mereka telah menemukan konten pornografi melalui iklan atau situs yang tidak mencurigakan, faktanya, 14% mengakui telah mengakses situs porno secara sukarela. Dengan demikian dapat dilihat bahwa, peningkatan jumlah situs pornografi semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Melihat mayoritas anak-anak mengalami dampak Cyber Pornography, hal ini menjadi sebuah kekhawatiran semua pihak. Menurut Meutia Hatta Swasono (sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan), pornografi merupakan akar permasalahan yang akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, seperti penyimpangan perilaku, pelacuran, seks bebas, penyakit mematikan dan merosotnya moral generasi penerus bangsa. Terlebih lagi, anak-anak belum dapat menganalisa baik atau buruk suatu perilaku, sehingga cenderung mengimitasi dan mencoba apa yang baru dilihatnya.

Children Trafficking Online

Perdagangan anak adalah tindak perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan anak dengan maksud eksploitasi yang terjadi baik di negara maju ataupun negara berkembang (www.unicef.org). Sedangkan, Children Trafficking Online atau perdagangan anak secara online adalah kegiatan penjualan anak secara online melalui dunia maya. Perdagangan anak merupakan sebuah proses menuju eksploitasi. Menurut ECPAT, media online disalahgunakan untuk mengeksploitasi anak secara seksual, sedangkan secara fisik dilakukan di offline (www.thejakartapost.com). Anak-anak yang dieksploitasi dijadikan buruh korban pornografi, prostitusi dan narkotika. Anak-anak tersebut beresiko tinggi untuk mendapatkan perlakuan kekerasan dan narkotika. Anak-anak tersebut beresiko tinggi untuk mendapatkan perlakuan kekerasan dan terjangkit penyakit mematikan, seperti HIV Aids. Dampak dari praktik perdagangan anak adalah menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak serta merusak masa depan anak.

Akhir-akhir ini, perdagangan anak menunjukan peningkatan yang sangat tajam. Sebanyak 890 anak-anak di Indonesia merupakan korban dari perdagangan anak dan sejumlah 741 merupakan anak perempuan (www.unicef.org). Sedangkan, berdasarkan data yang dimiliki Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) kasus perdagangan anak cenderung mengalami peningkatan dari 410 kasus pada tahun 2010, 480 kasus pada tahun 2011, dan 673 kasus pada tahun 2012. National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) menambahkan terdapat sejumlah 18.747 anak Indonesia yang mengalami eksploitasi secara online (www.thejakartapost.com). Menurut Arist Merdeka Sirait (sebelumnya menjabat sebagai Ketua Umum Komnas PA), jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 28 persen tiap tahunnya (www.rmol.co). Dengan demikian, dapat dikatakan kasus-kasus perdagangan anak semakin meningkat tiap tahunnya, terlebih lagi dengan adanya kemudahan akses dalam berkomunikasi.

Fakta bahwa maraknya kasus perdagangan anak secara online penting menjadi perhatian bagi seluruh elemen masyarakat untuk melakukan antisipasi. Salah satu bentuk antisipasi dapat berasal dari orang-orang terdekat, salah satunya adalah peran dari orangtua. Anak dalam segala rasa keingintahuannya membutuhkan pendampingan dari orangtua. Anak tetap harus dikontrol aktivitasnya ketika menggunakan internet, entah untuk tugas sekolah maupun kebutuhan lainnya, orangtua tidak boleh mengabaikan anak. Guru dan Sekolah juga harus memiliki tanggung jawab atas anak didiknya, oleh karena itu anak-anak tetap harus diarahkan, dibimbing, dan diperhatikan segala aktivitasnya yang terkait dengan penggunaan internet (Lisnawati, 2013: 15).

Pedophilia

Pedophilia atau pedofil berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata pais (anak-anak) dan phillia (cinta yang bersahabat atau sahabat). Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (www.polines.ac.id). Dalam buku Right From The Start (Hana, 2014: 226), pedofilia adalah seorang dewasa yang hanya bisa mendapatkan kepuasan seks dengan melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Pedofilia masuk ke dalam salah satu kategori perilaku seks yang menyimpang. Biasanya pelaku pedofilia berumur 16 tahun ke atas. Seseorang yang mengalami pedofilia mendapatkan kepuasan seks dari hubungan yang dilakukan dengan anak-anak yang berumur 13 tahun ke bawah. Seorang anak memiliki jarak minimal lima tahun lebih muda dengan pelaku pedofilia.

Modus yang dilakukan pedofil untuk menjerat korbannya beraneka ragam. Ada yang berkedok mengasihi anak-anak dengan iming-iming materi yang pada akhirnya meminta balasan pelayanan seksual, baik secara halus atau paksaan. Ada yang berkedok sebagai pendidik dengan modus memberikan ilmu atau kepandaian kepada korban. Ada yang berkedok sebagai pekerja sosial yang mengangkat anak sebagai salah satu anak asuhnya (www.sinarharapan.co.id).

Pedofilia digolongkan sebagai kejahatan terhadap anak karena mengakibatkan dampak buruk bagi korban. Menurut ahli kejiwaan anak, Seto Mulyadi, para korban pedofilia akan mengalami kurang rasa percaya diri dan memilki pandangan negatif terhadap seks (Sawitri Supardi, 2005). Dampaknya tidak hanya merusak masa depan anak secara fisik saja, tetapi juga akan merusak mental dan kejiwaan anak, seperti depresi yang dapat terbawa hingga dewasa. Bahkan, kebanyakan penderita pedofilia disebabkan karena dirinya pernah menjadi korban pelecehan seksual serupa pada masa kanak-kanak (Wati, 2010).

Kasus pedofilia ibaratnya seperti gunung es, sedikit yang berhasil terungkap namun kasus yang belum diketahui lebih banyak lagi. Sebagian besar korban (beserta para orang tua) tidak bersedia untuk melaporkan kejahatan yang mereka alami karena malu. Bahkan banyak korban yang tidak bisa lagi melaporkan kejahatan tersebut karena telah terbunuh (Hidayati, 2014). Sebagai antisipasi, pemerintah sudah menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Anak sejak tahun 2002 disusul dengan rancangan hukuman kebiri bagi pelaku pedofil oleh Jokowi (Presiden RI). Tidak hanya antisipasi dari pemerintah, pengawasan orangtua terhadap anak-anaknya merupakan hal yang paling penting mengingat anak belum berkembang secara sempurna dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga dapat dengan mudah percaya dan terbujuk dengan hal-hal yang manis.

Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa semakin maraknya kejahatan-kejahatan yang berada di dunia maya, terutama yang melibatkan anak sebagai korban. Dengan peningkatan jumlah kejahatan yang terjadi setiap tahunnya, berarti semakin banyaknya oknum yang melakukan kejahatan di dunia maya dan semakin banyaknya anak-anak yang menggunakan alat-alat teknologi untuk berselancar di dunia maya. Melihat kondisi tersebut, perlu adanya kesadaran dari berbagai pihak, terutama orangtua untuk memberikan perlindungan kepada anaknya dengan mengawasi serta memberikan pengetahuan mengenai segala hal yang berada di dunia maya. Hal tersebut penting ditanamkan sejak dini untuk tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa dan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

 

Daftar Acuan

Anon, What is Cyberbullying, Exactly?, Stopcyberbullying.org, http://www.stopcyberbullying.org/ what_is_cyberbullying_exactly.html, 2009, retrieved August 20, 2011

Anon, Kekerasan Dunia Maya dan Depresi, Mediaindonesia, http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/22/169941/78/22/Kekerasan-Dunia-Maya-dan-Depresi, 2010, retrieved July 15, 2011.)

Achmad Syalaby Ichsan, 20 % Anak SD Jabodetabek Kenal Porno Dari Internet”, tersedia pada http://ruuappri.blogsome.com2006051220-persen-anak-sd-jabotabek-kenal-porno-dari-int

Brame, Gloria G. 1996. How To Have Cybersex: Boot Up And Turn On, tersedia pada http://www.gloria-brame.com/glory/journ7.html

Donny B.U, Pornografi di Internet, tersedia pada http://www.ictwatch.com

Hana, Bunda. 2014. Right from The Start. Elex Media Komputindo: Jakarta.

Heru Sutadi, Transaksi Seks, Modus Baru Kejahatan Internet, tersedia pada www.sinarharapan.co.idberita030614opi01.html

Hidayati, Nur. 2014. Perlindungan Anak terhadap Kejahatan Kekerasan Seksual (Pedofilia). Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 14 No. 1, April 2014

Lisnawati, Go. 2013. Cyber Child Sexual Exploitation dalam Perspektif Perlindungan atas Kejahatan Siber. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

Wati, Desita Rahma Setia. 2010. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pedofilia Di Indonesia. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

http://tekno.liputan6.com/read/2319823/id-cop-kawal-keselamatan-anak-anak-di-dunia-maya

http://www.thejakartapost.com/news/2015/04/29/online-child-exploitation-rampant-ri-says-ngo.html (diakses pada tanggal 23 Februari 2016)

http://www.unicef.org/indonesia/UNICEF_Indonesia_Child_Trafficking_Fact_Sheet_-_July_2010.pdf

http://www.nobullying.com/

http://www.anneahira.com/

http://www.sinarharapan.co.id/


[1] Spamming berupa email sampah tawarkan produk, kerjasama, dll. Dapat digunakan untuk kirimkan virus, worm, dll

[2] Malware berupa program tersembunyi di dalam computer untuk memata-matai kegiatan di internet agar bisa mencuri data penting seperti username, password, dan informasi rekening bank

[3] Phising adalah sebuah teknik penyerangan dengan mengirimkan link untuk masuk ke situs sebuah perusahaan yang ternyata merupakan situs palsu yang mirip situs resmi

]]>
Bahaya Kecanduan Internet Bagi Anak-Anak dan Remaja https://sejiwa.org/bahaya-kecanduan-internet-bagi-anak-anak-dan-remaja/ Wed, 13 Mar 2024 04:01:12 +0000 http://sejiwa.org/?p=1214  

Ajaib. Sebuah kata yang dapat menggambarkan keberadaan internet. Ibaratnya seperti tongkat sihir yang dapat mewujudkan segala hal, begitu pula internet. Melalui internet, semua orang dapat menemukan apa yang diinginkan. Internet menjadi ruang tanpa batas untuk berkomunikasi. Internet juga dapat menjadi alat untuk mencari informasi ataupun sebagai tempat untuk mendapatkan hiburan. Dengan demikian, internet merupakan tempat untuk mendapatkan segala suatu dalam waktu yang singkat.

Berbagai kalangan dapat menggunakan dan mengakses internet. Seperti yang dikatakan sebelumnya, internet merupakan ruang tanpa batas. Internet tidak mengenal usia, kelas sosial atau pun pendidikan. Internet dapat digunakan oleh siapa saja. Dengan semakin berkembangnya teknologi, setiap tahun jumlah pengguna internet semakin meningkat. Menurut data yang dirilis oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 adalah sebesar 88,1 juta. Angka tersebut naik dari 71,2 juta di tahun sebelumnya (www.tekno.kompas.com). Di antara jumlah tersebut, menurut Kominfo dan UNICEF (2014) sekitar 30 juta di antaranya adalah anak-anak dan remaja (www.kominfo.go.id). Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa tidak sedikit pengguna internet dari kalangan anak-anak dan remaja.

Kemudahan yang ditawarkan dalam internet membuat banyak pengguna internet mengalami adiksi atau kecanduan pada internet. Menurut Hovart (1989), kecanduan berarti suatu aktivitas yang dilakukan berulang-ulang dan dapat menimbulkan dampak negatif (www.cts.com). Seseorang yang mengalami kecanduan pada internet dapat menggunakan internet dalam waktu yang lama. Menurut survei yang dilakukan oleh Markeeters pada tahun 2013, hampir 70% pengguna internet di Indonesia yang berusia 15-22 tahun menghabiskan lebih dari 3 jam sehari menggunakan internet. Tiga hal utama yang dilakukannya adalah mengakses media sosial (94%), mencari info (64%), dan membuka email (60,2%) (Santika, 2015). Anak atau remaja yang telah kecanduan terhadap internet dapat dilihat dengan ciri-ciri sebagai berikut (www.ictwatch.com):

  1. Keasyikan dengan internet dengan tujuan tertentu yang orang lain tidak boleh tahu.
  2. Bersikap melawan untuk berlama-lama online. Mereka akan marah jika waktu online-nya dibatasi.
  3. Mulai memakai uang jajan atau uang untuk kebutuhan penting lain demi bisa online atau membeli gadget baru.
  4. Gagal mengontrol perilaku, termasuk perilaku agresif.
  5. Mengalami euphoria setiap kali terlibat pada segala yang menyangkut komputer atau aktivitas internet.
  6. Tak bisa mengatur waktu
  7. Mengorbankan waktu tidur demi bisa online.
  8. Marah saat koneksi internet terputus.
  9. Memeriksa email atau pesan online secara kompulsif sepanjang hari.
  10. Tetap berusaha online walau sedang waktunya sekolah atau belajar.
  11. Lebih senang menghabiskan waktu online ketimbang bersama teman atau keluarga.
  12. Tidak tertarik melakukan aktivitas menarik di dunia nyata, lebih senang di depan komputer.

 

Dari perilaku tersebut dapat dilihat bahwa kecanduan internet dapat menimbulkan dampak negatif, terutama bagi anak-anak dan remaja. Cromie (1999, dalam Kem 2005) mengatakan ancaman paling umum saat seseorang kecanduan adalah ketidakmampuannya dalam mengatur emosi. Seseorang akan lebih sering merasakan perasaan sedih, kesepian, marah, malu, takut untuk keluar, berada dalam situasi konflik keluarga yang tinggi, dan memiliki rasa percaya diri yang rendah. Hal tersebut mengakibatkan anak dan remaja dapat menjadi tertutup (introvert) dan acuh terhadap lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi kehidupan sosialnya, seperti hubungan terhadap teman sebaya atau keluarga.  Selain terhadap lingkungan, anak dan remaja juga dapat menjadi acuh dengan tanggungjawab sebagai pelajar yang berdampak pada prestasinya. Apabila terus berlanjut, pecandu internet dapat menjadi seseorang yang antisosial dan meningkatkan resiko kenakalan remaja. Besar kemungkinan hal itu dapat menjerumuskan anak dan remaja yang kecanduan terhadap internet ke dalam tindak kriminal, baik dalam dunia nyata ataupun dunia maya.

Dengan bahaya yang mengancam para pecandu internet, maka penting untuk melakukan antisipasi, terutama terhadap anak-anak dan remaja.  Antisipasi dapat dilakukan dengan disiplin dalam menggunakan gadget dan membatasi waktu penggunaannya. Dalam hal ini perlu adanya pengawasan dari orangtua. Selain itu, perlu adanya penerangan mengenai dampak-dampak yang dapat terjadi apabila kecanduan internet, sehingga anak-anak dan remaja dapat lebih sadar dengan aktivitas yang dilakukan dalam internet. Alternatif lainnya adalah mengalihkan perhatian kepada aktivitas atau kegiatan yang berada di outdoor, seperti sepak bola, menari, menggambar.

Daftar Acuan

Santika, Mohammad Gilang. 2015. Hubungan Antara FoMO (FEAR OF MISSING OUT) Dengan Kecanduan Internet (INTERNET ADDICTION) Pada Remaja Di SMAN 4 Bandung. Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia

http://tekno.kompas.com/read/2015/03/26/14053597/Pengguna.Internet.Indonesia.Tembus.88.Juta

http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3834/Siaran+Pers+No.+17-PIH-KOMINFO-2-2014+tentang+Riset+Kominfo+dan+UNICEF+Mengenai+Perilaku+Anak+dan+Remaja+Dalam+Menggunakan+Internet+/0/siaran_pers#.Vs6kfX197t4

http://www.cts.com/babsmrt/coping.htm

http://ictwatch.com/internetsehat/2012/07/18/12-gejala-anak-kecanduan-internet/

http://www.nacada.ksu.edu/Clearinghouse/AdvisingIssues/Gamer-Addiction.htm

 

]]>
Peran Ayah dalam Mengasuh Anak https://sejiwa.org/peran-ayah-dalam-mengasuh-anak/ Wed, 13 Mar 2024 04:01:12 +0000 http://sejiwa.org/?p=1263  

Suatu hari, seorang anak menanyakan hal yang tidak terduga seputar kehidupan keluarganya. “Bu, kenapa sepertinya semua masalah rumah tangga ibu yang mengatur?” Tanya anak itu. Lalu ibunya menjawab “Tugas utama seorang ayah adalah mencari nafkah.”

Bila ditinjau lebih dalam lagi, beberapa diantara kita mungkin menyadari, ibu dalam ilustrasi diatas mengungkapkan bahwa tugas utama seorang ayah adalah mencari nafkah. Apakah benar begitu? Jika benar tugas utama ayah adalah demikian, lalu apakah ada tugas lain yang harus dilakukan seorang ayah dalam pengasuhan anak?

Beberapa penelitian mengenai pengasuhan anak menyoroti pentingnya peran ibu dalam pengasuhan anak. Namun belakangan ini, topik mengenai peran ayah dalam pengasuhan juga semakin banyak dibicarakan. Hal ini disebabkan adanya pendapat bahwa ibu dan ayah memiliki peran yang sama pentingnya dalam pembentukan sikap atau output tingkah laku pada anak.

Topik mengenai hubungan orang tua anak dan kesejahteraan anak sudah banyak diteliti. Salah satunya, studi yang dilakukan oleh Wenk pada tahun 1994. Ia meneliti mengenai keterlibatan ayah dan ibu pada kesejahteraan psikologis anak laki-laki dan perempuan. Keterlibatan yang dimaksud adalah pada aspek tingkah laku dan emosional. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, baik keterlibatan ayah dan ibu, dalam aspek tingkah laku dan emosional memiliki hubungan dengan kepercayaan diri, kepuasan hidup, dan kesehatan mental pada anaknya, baik anak laki-laki dan perempuan. Dapat dikatakan, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sama pentingnya dengan keterlibatan ibu.

Pengaruh hubungan orang tua dengan anaknya ini memiliki dampak yang berkelanjutan. Kualitas kasih sayang dari hubungan antara orang tua dan anak pada masa menuju remaja menunjukkan dampak yang berkepanjangan pada kesejahteraan psikologis  remaja hingga dewasa (Amato & Gilbert, 1999, Roberts & Bengston, 1993, Van Wel dkk, 2000 dalam Allgood, 2012). Maka, penting bagi semua orang tua untuk memerhatikan keterlibatannya dalam pengasuhan anak.

Selain itu, penelitian Van Wel (2000) menghasilkan kesimpulan bahwa kedekatan ayah dengan anak mereka memiliki hubungan yang positif dengan kebahagiaan anak, baik secara langsung maupun dalam waktu yang lama atau mendatang.

  1. Engagement diartikan sebagai interaksi langsung yang dilakukan ayah dengan anaknya dalam konteks merawat, bermain, atau mengisis waktu luang. Jadi, penting bagi seorang ayah untuk melakukan interaksi langsung dengan anak, misalnya menemani anak bermain, mengajarkan anak mengendarai sepeda di hari libur, dan aktivitas lainnya.
  2. Accesibility diartikan sebagai ketersedian secara fisik dan psikologis yang ayah berikan pada anak. Sebagai seorang ayah, penting untuk memberikan dukungan secara fisik maupun psikologis kepada anak, misalnya, mengambil raport anak di sekolah. Hal ini terkesan hal sederhana, namun berapa banyak ayah yang hadir secara fisik untuk melakukan hal ini?

Selain itu, ayah juga sebaiknya membantu anak dengan bantuan psikologis. Seperti memberikan penghargaan kepada anak secara verbal, misalnya dengan mengatakan “Kamu sudah hebat. Lain kali, pasti kamu akan lebih hebat lagi” saat anak gagal mendapatkan sesuat atau mengatakan “Ayah menyayangimu, Nak.” Untuk mengekspresikan rasa cinta pada anak.

  1. Responsibility diartikan sebagai perawatan dan penjaminan kesejahteraan anaknya, misalnya, ayah mendukung kebutuhan passion anak yang gemar bermain sepatu roda. Selain itu, ayah juga bisa menyediakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman dan kesiapan untuk mengakses ke tempat pengobatan jika ada kondisi darurat. Secara umum, fungsi responsibility inilah yang dilihat sebagai tugas utama ayah yaitu mencari nafkah.

Dampak pemenuhan aspek engagement, accessibility, dan responsibility yang dapat dilakukan ayah ini akan memengaruhi kepercayaan diri anak, kepuasan hidup anak, dan distress psikologis anak. Anak yang dalam masa perkembangannya dipenuhi aspek engagement, accessibility, dan responsibility oleh ayah mereka, akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, anak akan mudah memenuhi tugas sekolahnya, dan berani melakukan hal-hal yang positif.

Selain itu, anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya, juga akan memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi. Anak menjadi merasa puas dengan hidupnya karena kebahagiaan yang dirasa terbentuk dari keterlibatan orang tuanya.

Terakhir, anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhnnya, akan mempunyai distress psikologis yang rendah. Anak akan lebih tahan dengan berbagai stimulus stress yang ada, dan mengetahui solusi terhadap berbagai permasalah yang muncul dalam hidupnya.

Melihat paparan diatas, tentu kita sama-sama menyadari bahwa selain tugas mencari nafkah, ayah memeliki peran lain yang jauh lebih penting dan esensial, karena dampaknya mempengaruhi output tingkah laku anak di masa depan. Untuk para ayah dan calon ayah, mari terlibat dalam pengasuhan anak kita!:)

Daftar Pustaka

Allgood, Scot M., Beckert, Troy E. 2012. The Role of Father Involvement in the Perceived Psychological Well-Being of Young Adult Daughters: A Retrospective Study. North American Jurnal of Psychology. Vol. 14, No. 1, 95-110.

Wenk, DeeAnn., Hardesty, Constance L., Morgan, Carolyn S., Blair, Sampson Lee. 1994. The influence of parental involvement on the well-being of sons and daughtersJournal of Marriage and the Family

]]>
Mendidik Anak di Era ‘Screen Time’ https://sejiwa.org/mendidik-anak-di-era-screen-time/ Wed, 13 Mar 2024 04:01:11 +0000 http://sejiwa.org/?p=1946 Pada era ‘Screen time’ ini orang tua mempunyai tantangan tersendiri dalam mendidik anak-anak. Teknologi digital berbasis visual mempunyai daya tarik yang besar bagi anak-anak pada saat ini. Hal ini bisa menjadi sesuatu yang positif ataupun dapat berbalik menjadi sesuatu yang negatif bilamana tidak digunakan dengan bijak dan sesuai. Tentunya hal ini harus menjadi perhatian bagi orangtua dalam memberikan akses pada anak untuk menggunakan teknologi digital ini.

Pada Oktober 2016, American Academy Pediatrics (AAP) merilis anjuran atau petunjuk penggunaan teknologi digital berbasis visual bagi anak-anak dan remaja. Berikut adalah rekomendasi penggunaan teknologi digital berbasis visual bagi anak-anak berdasarkan usia:

  • Anak usia 0 -18 bulan, sangat dianjurkan untuk tidak menggunakan teknologi digital sama sekali. Pengecualian bilamana penggunaannya digunakan untuk video jarak jauh berkomunikasi dengan keluarga.
  • Anak usia 18 bulan – 2 tahun. Pada usia ini anak mulai boleh diperkenalkan dengan teknologi digital. Namun perlu untuk amat sangat diperhatikan kualitas program dalam teknologi tersebut. Sangat dianjurkan program yang diperkenalkan ialah program dan teknologi yang dapat membantu interaksi antar anggota keluarga.
  • Anak usia 2 – 5 tahun , maksimum penggunaan teknologi digital, sangat direkomendasikan maksimal penggunaannya adalah 1 jam perhari.
  • Anak usia di atas 5 tahun, dianjurkan maksimal ialah 2 jam perhari.
  • Remaja dan Dewasa, Penggunaan gadget yang ideal dalam satu hari ialah 4 Jam 17 Menit

bahaya main gawai pada anak bisa sebabkan obesitas dan gangguan penglihatan SkY5L3dLuM
sumber: lifestyle.okezone.com

Akibat dari penggunaan media teknologi digital yang berlebihan pada anak:

  1. Obesitas (kegemukan). Hasil dari penelitian mengungkapkan anak yang memilik ketergantungan pada media mempunyai kemungkinan untuk obesitas dikarenakan kurangnya aktivitas. bergerak.
  2. Hasil penelitian lainnya, pola tidur anak akan terganggu. Anak yang memiliki ketergantungan, mempunyai potensi untuk kekurangan waktu tidur dari yang seharusnya ia dapatkan. Sehingga pada akhirnya hal ini akan menyebabkan kelelahan pada anak
  3. Secara sosial ketergantungan anak pada media akan mengurangi waktu yang berkualitas bersama keluarga, pada akhirnya kebutuhan sosial dan kognitif anak menjadi tidak terpenuhi.

Namun dari hal-hal buruk yang dapat terjadi dapat dicegah bilamana penggunaan teknologi digital terhadap anak digunakan secara bijak dan efisien. Penggunaan teknologi digital yang baik dan bijak akan berdampak positif pada anak. Beberapa diantaranya adalah:

  1. Anak dapat mengaplikasikan ilmu yang ia dapat dari teknologi tersebut untuk digunakan dalam kehidupannya sehari-hari. Termasuk dalam ilmu – ilmu sederhana seperti matematika dan perilaku manusia.
  2. penggunaan teknologi digital yang baik terbukti dapat meningkatkan kemampuan anak untuk belajar khususnya di bidang sains dan matematika.

Ada beberapa pertanyaan refleksi yang dapat dilakukan oleh orang tua apakah penggunaan media elektronik berdampak baik atau buruk bagi anaknya. Berikut adalah pertanyaannya.

  1. Apakah anak saya sehat secara fisik dan cukup tidur?
  2. Apakah anak saya terhubung secara sosial dengan keluarga dan teman (dalam bentuk apapun)?
  3. Apakah anak saya berprestasi di sekolah?
  4. Apakah anak saya mempunyai ketertarikan dengan minat dan hobi (dalam bentuk apapun)?
  5. Apakah anak saya bersenang-senang dan belajar menggunakan media digital mereka?

Dari pertanyaan ini, jika jawaban anda adalah “iya”, maka anda tidak perlu khawatir. Artinya anda telah menggunakan teknologi digital secara bijak. Jika jawaban anda adalah “tidak” maka anda perlu untuk melakukan beberapa hal untuk memperbaikinya.

 

Berikut adalah hal – hal yang dapat dilakukan oleh orang tua sebagai pemberi edukasi penggunakan teknologi digital bagi anak:

  1. Jadilah Contoh: Anak-anak belajar dengan observasi dan tujuh puluh persen anak-anak saat ini merasa orang tua mereka terlalu banyak di layar mereka. Gunakan waktu anda untuk banyak melakukan interaksi dengan keluarga, dibandingkan dengan media digital anda. Sehingga anak akan mencontoh perilaku tersebut
  2. Membuat Kegiatan Prioritas: Sebagai keluarga, buatlah daftar semua aktivitas yang tidak dapat dinegosiasikan vs aktivitas yang diinginkan. Isi kalender harian dengan kegiatan yang tidak dapat dinegosiasikan seperti waktu sekolah, waktu makan, waktu tidur, waktu bermain di luar ruangan, kegiatan ekstra kurikuler dan waktu mengerjakan pekerjaan rumah. Kemudian Anda dapat mengalokasikan sejumlah waktu untuk penggunaan media digital, mengikuti panduan yang disarankan oleh AAP.
  3. Ajarkan etika penggunaan teknologi: ajarkan etika menggunakan teknologi. Misalnya tidak menggunakan teknologi digital ketika sedang berinteraksi dengan orang lain.
  4. Tetapkan peraturan media yang tegas: Jauhkan komputer dan laptop dari kamar tidur anak-anak dan simpan di area keluarga.

 

Sumber artikel: https://www.edtechteam.com/blog/2017/06/parenting-in-screen-time-era/

]]>
“Stop! Jangan Bully Aku” https://sejiwa.org/stop-jangan-bully-aku/ Wed, 13 Mar 2024 04:01:11 +0000 http://sejiwa.org/?p=1911 “Gen Z telah tumbuh bersama smartphone dan free Wi-Fi sepanjang yang mereka ingat,” – Forbes.

Maraknya kasus bullying di Indonesia sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan dan membutuhan kerjasama seluruh pihak agar lingkaran setan ini putus. Berdasarkan situs resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 26 ribu kasus tentang anak yang terjadi sejak 2011 hingga 2017. Sebanyak 34% dari jumlah tersebut merupakan kasus hukum seperti bullying.

Menurut Founder Yayasan Sejiwa Diena Hariyana, semua perilaku termasuk ucapan, bahasa tubuh bahkan tatapan mata yang menyakiti seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan bullying. Bahkan jika tindakan tersebut hanya sekali dilakukan, maka hal tersebut juga sudah termasuk bullying.

“Tidak perlu sampai berulang-ulang, jika sudah menimbulkan korban (fisik maupun psikis) dapat disebut dengan bullying,” papar Diena saat ditemui di kantor Yayasan Sejiwa di Depok, Jawa Barat, pekan lalu.

Dengan bergulirnya waktu dan adanya kemajuan dunia digital masalah baru terjadi salah satunya bullying di dunia maya. Cyberbullying atau intimidasi dunia maya adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia maya atau internet.

Aksi ini tak mengenal popularitas dan usia, dapat menyerang siapa saja. Cyberbullying terjadi sejak ada media sosial. Karena ada potensi seorang anak memposting sesuatu yang tidak disukai orang lain atau menyakiti.

Cyberbullying itu sejak ada sosmed pasti sudah ada. Karena sudah ada potensi anak itu memposting hal-hal yang tidak disukai orang lain, menyakiti. Sejak ada sosmed aku yakin sudah ada cyberbullying,” kata Ketua Yayasan Sejiwa Retno Sulistyo Wahyuni saat ditemui kumparan (9/11).

Pengalaman bully pernah dialami oleh seorang remaja perempuan, sebut saja Ria. Ketika itu, ada seseorang yang menuliskan komentar di salah satu akun sosial media sosialnya. Ria yang menolak menceritakan secara gamblang awal permasalahannya mengaku cukup kaget ketika membaca komentar tersebut. Selain begitu menyakiti hatinya, ia merasa malu karena komentar tersebut bisa dibaca banyak orang.

“Kalau di kolom komentar itu buat aku nge-down sih karena aku malu,” cerita Ria ketika dihubungi kumparan (9/11). Ria bercerita saat itu ia juga menangis, tidak mau keluar kamar kos hingga kehilangan selera makan.

“Aku nangis, tutup kamar dan ga makan. Makan cuma sekali itu juga dua hari sekali. Aku pernah seperti itu karena benar-benar sakit baca kata-kata yang tidak pantas aku terima. Itu bukan salahku, dibaca banyak orang. Kalau aku keluar (ketemu teman yang lain) aku takut dijudge nggak bener,” kenang Ria. Beruntung, saat itu Ria merasa terbantu dengan kehadiran sepupunya. “Dia yang bantuin aku waktu itu. Bantuin balesin DM juga.”

Berbeda dengan Ria, seorang gadis bernama Ribka belum lama ini juga menjadi korban cyberbullying. Ribka bercerita awal mulanya hal tersebut terjadi karena ia memposting sebuah story di Instagram yang berisi kritikan terhadap artis Hollywood. Ternyata postingan tersebut ditanggapi oleh seseorang yang meresa tidak sepaham dengan Ribka.

Menggunakan akun bodong, pembully tersebut awalnya hanya mengomentari kritikan Ribka via pesan langsung yang ada di Instagram. Awalnya Ribka mencoba meluruskan bahwa yang dia tulis hanyalah kritikan biasa dari seorang fans terhadap artis idolanya. Tidak ada maksud tertentu yang ingin Ribka tunjukkan.

Malas menanggapi hal tersebut berlarut-larut, Ribka memutuskan untuk memblokir akun pembully. “Sempat aku bales gitu kan. Tapi akhirnya lama-lama capek juga. Akhirnya aku block deh itu akun,” kisah Ribka saat ditemui kumparan (8/11). Namun keesokkan harinya, muncul akun lain yang juga melakukan hal yang sama.

“Ternyta besoknya ada lagi akun yang muncul dan nge-DM-in aku. Awalnya sama, ga suka sama postingan aku. Kita cuma bahas itu. Tapi lama-lama malah sampe bodyshaming. Dia ngatain aku gendut dan jelek,” kenang Ribka.

Ia pun mengaku sempat terpancing dengan kata-kata yang dituliskan sehingga akhirnya terjadi adu balas. Namun menurut pengakuan Ribka ada beberapa temannya yang mengingatkan Ribka untuk tidak menanggapi hal tersebut. Ia pun akhirnya memilih untuk tidak lagi meladeni pembully.

Dari dua cerita di atas, ada dua sikap berbeda yang ditunjukkan oleh para korban. Meski sama-sama merasa terganggu dengan adanya bullying, namun reaksi yang ditunjukkan Ria dan Ribka sangat berbeda.

Perubahan perilaku yang dialami oleh Ria tersebut memang kerap kali terjadi pada korban bullying. Menurut Ketua Yayasan Sejiwa, Retno Sulistyowahyuni, korban bullying akan menunjukkan perubahan perilaku seperti mudah histeris, depresi, sangat sensitif, dan penurunan nilai akademis.

“Biasanya anak yang kena cyberbullying itu jadi bolos, nggak mau ketemu orang dan terlihat tidak semangat,” ucap Retno.

Meski demikian ternyata tidak semua korban bullying akan menunjukkan reaksi buruk seperti yang dialami Ria. Menurut Advisor MELODICare FA Nurdiyanto, reaksi korban bullying didasari dari strategi coping stress yang dimiliki masing-masing individu.

“Strategi coping stress secara sederhana dapat diartikan sebagai daya lenting. Kemampuan seseorang untuk merespon masalah dalam kondisi tertekan,” ucap Nurdiyanto saat dihubungi kumparan (11/11).

Secara sederhana, coping stress dapat dilakukan dengan dua strategi yaitu internal dan eksternal. Strategi internal atau dalam istilah psikologi disebut sebagai emotional-focused coping, merupakan kekuatan yang muncul dari dalam diri. “Misalnya ketika menerima bully, seseorang akan melakukan hal-hal yang membuatnya senang atau bahagia sehingga bisa melupakan persoalannya,” kata Nurdiyanto.

Hal-hal tersebut bisa seperti membeli makanan favorit, jalan-jalan, mendengarkan musik atau melakukan hobi sehingga dapat mereduksi emosi negatif yang timbul pasca dibully. “Strategi internal ini juga ada hubungannya dengan spiritual. Misal seseorang yang dibully kemudian akan berdoa agar diberi ketenangan,” jelas Nurdiyanto.

Tau Bullying
Video mengenai Bullying yang dibuat jurnalis Tirto.Id. Klik untuk menonton.

Sedangkan strategi eksternal atau problem-focused coping, bisa dilakukan seseorang dengan mencari dukungan sosial misal bercerita atau curhat dengan orang terdekat. Termasuk juga menanggapi bully yang diterima.

Sama seperti yang dilakukan oleh Ribka. Ia beberapa kali membalas pesan langsung yang dikirimkan oleh pembully. Ternyata bagi sebagian orang, termasuk Ribka, cara tersebut dianggap sebagai strategi untuk meredam ketegangan stress yang ditimbulkan akibat cyberbullying.

Sedangkan Ria – dan mungkin banyak korban bully di luar sana – memilih strategi problem-focused coping yaitu dengan bercerita kepada orang terdekat. Berdasarkan penuturan Ria, ia merasa begitu terbantu dengan kehadiran sepupunya. Hal ini bukanlan sesuatu yang salah. Justru, kondisi inilah yang juga ditekankan oleh Diena yaitu adanya lingkungan yang peka dengan korban bullying.

“Biasanya korban itu tiba-tiba merasa nggak pengen ketemu siapapun, keliatan murung dan ngga punya semangat. Ketika itu terjadi justru lingkungannya yang perlu cari tahu kenapa,” kata Diena. Hal ini berkaitan dengan kesiapan orang tua untuk melek teknologi.

“Kesulitan menghadapi kids zaman now kalo menurut saya itu mengejar teknologi yang sama, artinya bahwa kalo anak-anak kita menggunakan medsos tertentu, kita harus bisa tahu, itu adalah kesulitan yang paling besar bagi orangtua yang gaptek,” tambah Retno.

Sikap orang tua yang kolot justru membuat anak menjadi frustasi. Dampak dari rasa frustasi dapat menimbulkan hal yang lebih berbahaya. Pertama, anak akan melampiaskan kekesalannya di luar lingkungan rumah, melampiaskan rasa sakit hatinya kepada orang lain. Kedua, anak cenderung menjadi murung, sensitif yang menjadikannya rentan menjadi korban bullying.

“Just be a friend. Tetap jadi temen mereka di medsos maupun di dunia nyata dan kalo bisa usahakan kita jadi top mind di kepala anak. Artinya, di antara temen-temennya di antara siapapun yang dia temui, dalam kehidupan anak itu kita ada di atas paling atas,” kata Diena.

Dengan menempatkan diri sebagai teman. Anak akan merasa nyaman ketika Ia dapat menceritakan segala hal yang dia lalui kepada orang tua nya. Menjadikan orang tua sebagai andalan ketika mereka terkena masalah sehingga orang tua dapat cepat mengambil tindakan jika anak terkena gangguan atau bullying.

Setiap anak memiliki sifat dan kharakteristik yang berbeda. Tingkat sensitifitas dalam menerima tindakan orang lain pun berbeda. Hal ini harus benar-benar dimengerti, bukan hanya oleh orang tua namun juga oleh seluruh lapisan masyarakat sekitar.

Sikap sensitif dalam hal ini adalah peka terhadap lingkungannya. Peka terhadap hal yang sedang dialami, dirasakan oleh orang sekitarnya. Setiap anak perlu dilatih untuk peka dan mengerti dampak dari setiap tindakan yang dilakukan.

“Karenanya anak itu perlu di latih untuk sensitif dengan anak lain sehingga mereka bisa mengukur. Oh dia udah sakit hati, aku harus minta maaf aku beneran ga sengaja,” tutur Retno

Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan akan menciptakan empati pada anak-anak. Empati membuat anak lebih peka terhadap perasaan orang lain. Hal itu akan meminimalisir anak-anak menjadi pelaku bully. Bahkan dapat membuat anak-anak berani bertindak ketika melihat ada perilaku bully di lingkungannya.

vvzttrqk7mbroqfr8nad

“Jadi potensial korban kita kuatkan, potensial pembully kita ajarkan untuk berempati agar dua-duanya bisa membuat lingkungan yang lebih baik, aman, dan nyaman.” tambah Diena.

Sedangkan menurut Retno, hal lain yang dapat dilakukan untuk memberantas bullying adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Misalnya dengan menyampaikan teguran secara asertif. “Kita harus ajarkan anak yang mudah baper menyampaikan perasaannya,” kata Retno.

Sikap diam yang dilakukan oleh korban akan membuat pelaku bullying makin semena-mena. Pelaku akan semakin berani untuk menyakiti bukan hanya psikis korban tapi dapat merambah ke kekerasan fisik. Anak harus diberi pengertian untuk berani berbicara ketika benar. Berbicara ketika merasa diganggu dan disakiti oleh temannya.

Selain memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah, Sejiwa juga menyediakan pendampingan kepada korban bullying ataupun pelaku. Bagi yang tertarik dan terpanggil untuk menjadi sukarelawan atau membutuhkan bantuan, dapat mendatangi kantor Sejiwa di Pesona Depok Estate Blok I No.8, Sukmajaya, Depok, Pancoran MAS, Kota Depok atau bisa menghubungi (021) 7773862.

Reporter:
Selfy Momongan, Maria Gabrielle Putrinda, Kartika Pamujiningtyas, Karina Nur Shabrina, Marissa Krestianti, Mulki Razqa
Artikel bisa dibaca juga Disini
]]>